Friday, August 13, 2004
AFI vs IPA
Oleh : Ade Armando (Dosen UI dan Pengamat Media)
Pernah dengar nama Yudistira Virgus? Atau, Edbert Jarvis Sie? Atau,
Ardiansyah? Andika Putra? Atau, Ali Sucipto? Kalau Anda menganggap
nama-nama itu terasa asing di telinga, jangan berkecil hati.
Maklumlah, mereka memang tidak cukup diekspos media massa. Jangankan
tampang, nama mereka saja tidak hadir di halaman satu surat kabar, di
halaman depan tabloid dan majalah, apalagi di prime time siaran
televisi dan radio kita.
Dibandingkan Veri, Kia, dan Mawar (tiga finalis AFI), misalnya,
pemberitaan soal Yudistira dan kawan-kawan bisa dibilang 'cuma
seujung kuku'. Padahal, prestasi mereka sangat membanggakan. Mereka
berlima semua siswa SMA membawa Indonesia menempati peringkat lima
besar dalam Olimpiade
Fisika Internasional di Pohang, Korea Selatan, yang baru berakhir
Kamis lalu.
Dalam ajang prestisius yang diikuti 73 negara ini, Indonesia hanya
berada di bawah Belarusia, Cina, Iran, dan Kanada. Negara-negara
besar seperti AS, Jepang, atau Jerman dilibas. Yudistira merebut
medali emas untuk kategori total ujian teori dan praktik
(eksperimen), sementara keempat
teman lainnya merebut medali perak dan perunggu.
Tapi, begitulah Indonesia. Pencapaian dalam kemampuan menguasai atau
mengembangkan ilmu pengetahuan tidak memperoleh perhatian besar.
Remaja Indonesia, sejak kecil, diajarkan untuk justru mengagumi hal-
hal tidak mendasar.
Lihat saja bagaimana saat ini ribuan remaja Indonesia berduyun-duyun
mengikuti berbagai ajang kompetisi adu tarik suara atau bahkan adu
kecantikan. Impian 'menjadi bintang' terus dipompakan ke benak bangsa
ini.
Program seperti AFI dan semacamnya tidaklah buruk. Tapi, skalanya
sudah menjadi begitu besar dan sama sekali tidak proporsional
sehingga bisa menyesatkan rentang pilihan yang terbayang di benak
bangsa ini.
Indonesia adalah negara miskin dan terbelakang. Salah satu syarat
utama untuk mengatasi ketertinggalan ini adalah penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Karena itu, negara ini membutuhkan
penghibur (entertainer) dalam jumlah 'secukupnya' saja.
Kita tentu perlu mensyukuri lahir dan tumbuhnya sebuah generasi muda
yang cantik, gagah, pintar menari dan bernyanyi, atau berakting;
namun kita memerlukan lebih banyak lagi orang pintar.
Kepintaran rupanya memang tak dianggap punya daya tarik tinggi.
Akibatnya, media massa tidak memberi tempat cukup bagi prestasi yang
terkait dengan 'keunggulan otak'. Tanpa disengaja, media tidak
mengondisikan masyarakat untuk menghargai 'kepintaran'. Bahkan, di
siaran televisi, lazim
kita melihat bagaimana kaum ilmuwan ditampilkan secara karikatural:
sebagai profesor pikun beruban dan berkacamata tebal yang tidak punya
kehidupan sosial. Pasokan sumber daya manusia unggul di negara ini
dipinggirkan.
Tentu saja bukan cuma media massa yang berkonstribusi. Kita misalnya
juga tidak melihat upaya serius pemerintah untuk memelihara dan
mengembangkan kualitas brainware ini. Yudistira dan kawan-kawan pun
bisa saja akhirnya tidak akan dapat dimanfaatkan untuk kemajuan
bangsa ini karena mereka keburu digaet pihak
asing. Yudistira misalnya dikabarkan sudah memperoleh beasiswa dari
sebuah universitas teknologi di AS. Dikabarkan pula dua anggota tim
Olimpiade Fisika sudah diterima Nanyang University of Singapura
(NUS). Maklumlah, perguruan tinggi asing ini aktif mendekati para
calon ilmuwan terbaik yang mereka dapati di ajang internasional,
sembari mengiming-imingi beasiswa, jaminan hidup, dan bahkan jaminan
kerja. Sementara Indonesia, hanya mengamati mereka dari jauh.
Tidak pernah dengar nama Yudistira Virgus?
Tidak apa-apa, kok. Ia cuma pemenang medali emas di Olimpiade
Internasional!
0 Comments:
Post a Comment
<< Home